Utamapos.com – Di Indonesia sertifikasi halal muncul sebagai isu yang diperdebatkan berkali-kali. Sebagai contoh, pada Maret 2021, Majelis Ulama Indonesia (MUI) membuat fatwa kontroversial yang mengatur vaksin AstraZeneca COVID-19 sebagai “haram” tetapi diperbolehkan untuk urgensi, meskipun perusahaan bersikeras bahwa vaksin itu tidak mengandung bahan babi.
UU Jaminan Produk Halal dan Pertanggungjawaban MUI
Pembongkaran monopoli MUI atas sertifikasi halal merupakan hasil dari diresmikannya Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). BPJPH adalah badan hukum di bawah Kementerian Agama yang bertugas mengawasi transaksi sertifikasi Halal di dalam negeri. Pada Oktober 2019, Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH) No.30/2014 mulai berlaku, dan BPJPH resmi beroperasi.
Pendirian BPJPH sangat monumental dari segi keuangan. Meskipun tidak ada angka akurat yang tersedia, seorang pejabat negara menyatakan pemerintah akan dapat mengumpulkan Rp. 22,5 triliun pendapatan setelah UU JPH berlaku penuh. Perhitungannya, demikian, berdasarkan jumlah usaha kecil dan menengah (UKM) hampir 60 juta, menurut BPS dan perusahaan besar yang beroperasi di Indonesia. Sertifikasi halal tidak hanya mencakup makanan dan minuman tetapi juga obat-obatan, kosmetik , dan bahan-bahan untuk produk-produk ini, yang berarti sejumlah besar produsen dan pabrik, dalam dan luar negeri, berada di bawah cakupan akreditasi ini. Di balik undang-undang tersebut ada kekhawatiran atas monopoli yang tidak terkendali yang dinikmati oleh MUI.
UU JPH diperkenalkan pada masa kepresidenan Yudhoyono, dengan tujuan untuk menertibkan industri sertifikasi Halal. Sistem ini sangat tidak diatur , dan MUI rentan terhadap korupsi tanpa langkah-langkah pengaturan untuk meminta pertanggungjawaban dewan.
Sejarah Hubungan Antara Negara dan MUI
Optimisme MUI tidak sepenuhnya berdasar, mengingat sejarah hubungan antara negara dan MUI. Didirikan pada tahun 1975, MUI dibentuk oleh rezim Suharto untuk membantu kebijakan mereka dalam mengatur komunitas Muslim. Kemudian pemerintahan Yudhoyono menghidupkan kembali dewan tersebut dengan memberikan dukungan politik dan keuangan kepada organisasi tersebut.
Dengan harapan dapat merebut modal sosial dari konstituen Muslim konservatif kelas menengah yang sedang berkembang. MUI berhasil mengukuhkan dirinya sebagai organisasi yang berfungsi Umat (komunitas Muslim) dan berusaha untuk Islamisasi masyarakat Indonesia sesuai dengan interpretasi konservatif dari ortodoksi Sunni. Keanggotaan pengurus MUI menjadi bukti perkembangan ini.
Dewan pusat MUI merupakan penggabungan dari intelektual agama serta pemimpin yang mewakili berbagai organisasi massa Islam. Dengan demikian, selalu ada kontestasi internal antara untaian agama Islam yang bersaing di dalam dewan. Serangan balik terhadap MUI dan peningkatan pengawasan pemerintah pusat. Tampaknya peran MUI dalam gerakan konservatif Islam Indonesia.
Hal yang telah mengundang reaksi dari pemerintahan Jokowi dalam bentuk pengawasan pemerintah. Perkembangan isu sertifikasi halal mendukung teori ini. Pemerintah memulai “pemogokan pendahuluan” saat pemilihan kepala BPJPH. Lukmanul Hakim, direktur LPPOM MUI dan salah satu calon ketua, dikeluarkan dari daftar pendek oleh Kementerian Agama tiga hari.
Sebelum pengumuman resmi. Sebaliknya, Kementerian menunjuk Sukoso, seorang profesor universitas dengan latar belakang sederhana sebagai direktur BPJPH. Dari situ, perang dingin antara LPPOM MUI dan BPJPH semakin intensif. Pada Agustus 2019, dipimpin oleh Ikhsan Abdullah, direktur Komisi Hukum MUI dan kuasa hukum yang mewakili Lukmanul Hakim.
LPPOM MUI cabang 31 wilayah mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi untuk menegaskan kredensial hukum mereka dan menuntut pencabutan beberapa pasal UU. Itulah ulasan tentang sertifikasi halal, runtuhnya monopoli MUI. Semoga bermanfaat untuk Anda.