Reformasi Akuntabilitas yang Tidak Merata di Indonesia

Utamapos.com – Setelah Indonesia beralih ke demokrasi pada tahun 1999, reformasi akuntabilitas di parlemen dan birokrasi menjadi agenda. Pada tahun 2002, UU 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dan UU 30/2002 membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) sebagai upaya untuk menyelesaikan warisan korupsi dari era otoriter Suharto.  Indonesia juga mereformasi tugas yang tumpang tindih dari badan audit yang ada, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan.

Termasuk BPK, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, BPKP, dan badan audit internal pemerintah daerah dan kementerian (Inspektorat) melalui Amandemen Konstitusi 1999-2002. Reformasi Akuntabilitas ini dimaksudkan agar ketiga lembaga pemeriksa tersebut dapat bekerja sama dengan baik dalam mengusut penggunaan anggaran negara oleh parlemen dan birokrasi.

Tapi itu telah membuat kemajuan yang tidak merata. BPK merupakan satu-satunya lembaga negara yang berwenang memeriksa laporan keuangan, kinerja, dan melakukan penyidikan lebih lanjut terhadap dugaan korupsi pada organisasi publik dan swasta yang menerima dana dari negara. Hasil pemeriksaan BPK merupakan indikator resmi untuk menilai kinerja lembaga negara dalam penggunaan dana negara.

Saat melakukan investigasi, BPK mengklasifikasikan temuannya ke dalam empat kategori. Pertama, jika ada kesalahan administrasi, BPK hanya akan merekomendasikan untuk memperbaiki kesalahan tersebut. Kedua, jika ada masalah dalam perencanaan anggaran, BPK akan merekomendasikan langkah-langkah efisiensi. Ketiga, jika ada biaya yang tidak wajar dalam pengadaan infrastruktur.

BPK akan memerintahkan agar dana dikembalikan. Keempat, jika ada program fiktif atau penggelembungan anggaran yang tidak wajar, BPK akan mengklasifikasikannya sebagai korupsi. Namun, reformasi akuntabilitas tampaknya tidak berhasil. Pada 2014-2018 DPR secara konsisten mendapat skor lebih tinggi dari birokrasi dalam audit keuangan BPK.

Kenapa Reformasi Akuntabilitas yang Tidak Merata di Indonesia?

Sementara itu, data Transparency International menunjukkan kasus korupsi di Indonesia lebih tinggi di parlemen daripada di birokrasi. Pada tahun 2014 parlemen menyumbang 89 persen dari total kasus korupsi di Indonesia, sedangkan birokrasi menyumbang 79 persen. Selama 2014-2019, KPK menangkap 254 anggota DPR karena korupsi penggunaan dana negara.

Reformasi akuntabilitas tahun 1999 hanya menggeser kerentanan BPK terhadap presiden, ke kerentanan parlemen. Konstitusi Indonesia menetapkan bahwa anggota BPK dipilih oleh parlemen. BPK wajib menyampaikan laporan investigasinya kepada DPR untuk mendapat rekomendasi apakah laporan tersebut akan ditindaklanjuti oleh pengadilan.

 Sementara itu, reformasi tahun 1999 menggeser kewenangan dan kekuasaan untuk melakukan penyidikan terhadap birokrasi dari BPKP yang korup, yang mendapat banyak intervensi politik dari pemerintahan Suharto, ke BPK yang dibentuk sebagai badan independen. Pengaturan tersebut menciptakan mekanisme akuntabilitas yang disfungsional.

Akuntabilitas sebagai mekanisme adalah suatu tatanan atau hubungan kelembagaan di mana “aktor dimintai pertanggungjawaban oleh forum”, di mana kekuasaan dan status hierarkis forum lebih tinggi daripada aktor. Ini mengasumsikan bahwa hubungan prinsipal-agen ada, di mana “forum adalah prinsipal dan aktor adalah agen yang dimintai pertanggungjawaban atas kinerjanya di kantor.”

Jenis akuntabilitas ini bertujuan untuk memastikan bahwa lembaga-lembaga negara tetap berada di jalur yang baik menuju pemerintahan yang akuntabel. Dalam konteks Indonesia, pengaturan tersebut menempatkan kekuasaan dan status BPK (sebagai forum) lebih rendah dari parlemen (sebagai aktor).

Sedangkan status dan kekuasaan BPK (sebagai forum) lebih tinggi dari birokrasi (sebagai aktor). DPR mengontrol BPK melalui pemilihan sembilan anggota. Masa jabatan masing-masing adalah lima tahun. Itulah ulasan tentang Reformasi Akuntabilitas yang tidak merata di Indonesia. Semoga bermanfaat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *