Presiden Mahasiswa BEM Universitas Riau: “Pemerintah Memimpin dengan Perut, Bukan Hati
Pekanbaru – 4 Maret 2025, Presiden Mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Riau mengkritik keras maraknya kasus korupsi yang terus mencoreng pemerintahan di Indonesia. Dalam pernyataannya, ia menegaskan bahwa korupsi bukanlah fenomena baru, melainkan warisan sejak masa penjajahan yang hingga kini belum juga menemukan titik akhir.
“Korupsi telah mengakar kuat di negeri ini, bahkan sejak zaman penjajahan. Hingga saat ini, tidak terlihat ada ujung penyelesaiannya,” ujarnya.
Ia menyoroti bahwa semakin banyaknya kasus korupsi yang terungkap belakangan ini telah mengikis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Menurutnya, pemerintah lebih cenderung mengutamakan kepentingan pribadi ketimbang menjalankan tugas sebagai pengayom rakyat.
“Seakan-akan pemerintah hanya berperan untuk menguntungkan diri sendiri dan memperkaya kelompok tertentu. Padahal, dalam sumpah jabatan sebelum dilantik, mereka telah berjanji untuk melayani rakyat. Namun, tanggung jawab tersebut malah diabaikan,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia membandingkan penegakan hukum terhadap korupsi di Indonesia dengan negara-negara lain seperti Tiongkok dan Korea Utara, yang dinilai lebih tegas dalam memberikan sanksi. Sementara di Indonesia, banyak kasus besar yang mencuat, seperti skandal dugaan korupsi Pertamax oplosan senilai Rp1.000 triliun, kasus timah Rp300 triliun, serta berbagai kasus korupsi di Riau, termasuk di Dinas Komunikasi dan Informatika, perjalanan dinas fiktif, serta di Dinas Pendidikan yang belum terselesaikan.
“Berdasarkan data, terdapat 22 kasus korupsi di Riau yang telah diserahkan oleh kepolisian ke kejaksaan, dengan total kerugian negara mencapai Rp130 miliar. Angka ini bisa saja terus bertambah,” ungkapnya.
Ia nenekankan bahwa untuk memberantas korupsi secara efektif, diperlukan penguatan hukum yang lebih tegas. Menurutnya, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi belum cukup memberikan efek jera karena hanya mengatur hukuman penjara dan denda tanpa ada sanksi sosial yang lebih kuat.
“Harus ada kebijakan yang lebih pro terhadap rakyat, bukan justru melindungi koruptor. Jangan sampai mereka hanya mendapat hukuman ringan, tetapi tetap diberikan kepercayaan dalam proyek-proyek strategis,” ujarnya.
Ia juga menyoroti bahwa praktik korupsi tidak hanya terjadi di ranah pemerintahan, tetapi sudah merambah hingga ke dunia akademik dan dunia kerja.
“Kondisi saat ini menunjukkan bahwa korupsi seakan telah diajarkan sejak dini. Jika ini terus dibiarkan, negara kita akan stagnan dan sulit berubah, karena generasi muda pun sudah banyak dicekoki praktik-praktik korupsi,” pungkasnya.
Komentar