Utamapos.com – Pada Februari 2020 , pemerintah Indonesia mengumumkan tidak akan memulangkan WNI yang bergabung dengan ISIS di Suriah dan Irak. Namun, pemerintah membuka kemungkinan untuk pemulangan anak-anak di bawah usia sepuluh tahun tanpa pendamping. Sudah lebih dari setahun sejak pengumuman tersebut dan tidak ada kemajuan signifikan yang dibuat, sebagian karena situasi COVID-19 yang memburuk di Indonesia.
Kondisi Mengerikan di Kamp-Kamp Suriah
Sebuah laporan IPAC baru-baru ini menunjukkan ada 555 orang Indonesia di al-Hol, al-Roj, dan beberapa penjara Kurdi, menurut sensus yang berlangsung pada Juni 2019. Anak-anak adalah bagian besar dari populasi itu. Ada 367 anak-anak Indonesia yang berumur di bawah delapan belas tahun, 75 persen di antaranya berusia di bawah sepuluh tahun. ISIS aktif merekrut dan memobilisasi keluarga .
Termasuk perempuan dan anak-anak, setelah berdiri pada pertengahan 2014. Ratusan keluarga Indonesia dijual dengan harapan tinggi untuk hidup di bawah negara Islam yang benar, makmur, dan adil. Kenyataannya ternyata jauh dari itu. Ibu kota, Raqqa, jatuh pada 2017. Ribuan pendukung mereka mengungsi ke kamp dan penjara yang dikelola oleh milisi dukungan AS, Front Demokratik Suriah (SDF).
Kondisi kehidupan sudah buruk, tetapi menjadi lebih mengerikan ketika COVID-19 melanda. Akses ke makanan bergizi, air, kebersihan, dan fasilitas medis langka. Pembatasan selama pandemi semakin menunda distribusi bantuan dan kebutuhan dasar, dan memaksa beberapa klinik kesehatan tutup.
Tantangan Pemerintah
Pemulangan anak bukanlah proses yang mudah. Tantangan termasuk definisi anak-anak yang memenuhi syarat untuk pemulangan, kewarganegaraan dan verifikasi data, penilaian risiko, masalah diplomatik, dan kepentingan birokrasi yang bersaing. Pemerintah Indonesia telah mengisyaratkan kemungkinan repatriasi untuk anak-anak tanpa pendamping di bawah usia sepuluh tahun.
Bagaimana Cara Melepaskan Anak-Anak Indonesia dari pengaruh ISIS?
Tetapi persyaratan seperti itu bisa menjadi masalah di lapangan. Misalnya, dalam kasus Faruk, Yusuf dan NASA, yang sudah mendekati atau lebih tua dari ambang batas sepuluh tahun ketika wawancara berlangsung: apakah hak mereka untuk mendapatkan kehidupan dan masa depan yang lebih baik sudah hilang? Faruq, Yusuf, dan NASA bukanlah kasus yang terisolasi.
Laporan IPAC menunjukkan ada 34 anak berusia di bawah delapan belas tahun tanpa pendamping. Ada juga 22 pengantin anak, beberapa dengan bayi dan balita, yang mungkin tidak akan dianggap sebagai “anak-anak” lagi, menurut undang-undang kewarganegaraan.
Repatriasi Meningkatkan Risiko Keamanan?
Tantangan paling kompleks dalam repatriasi adalah perbedaan institusional dalam pendekatan dan kepentingan mereka. Instansi keamanan seperti polisi, BIN, dan BNPT, terus mempertimbangkan risiko pemulangan anak. Lembaga-lembaga lain, terutama yang lebih fokus pada perlindungan anak, lebih mementingkan metode repatriasi, bukan apakah hal itu harus dilakukan.
Persepsi risiko terhadap negara meningkat seiring bertambahnya usia. Bayi dan balita mungkin berisiko kecil terhadap keamanan Indonesia, tetapi anak-anak yang lebih besar dianggap memiliki risiko lebih besar karena mereka mungkin menerima indoktrinasi dan pelatihan militer dari ISIS. Indoktrinasi ISIS sedang berlangsung dan menargetkan anak-anak kecil di dalam kamp.
Pemerintah perlu bergerak cepat karena semakin lama ditunda, semakin sedikit anak yang berusia di bawah sepuluh tahun. Diperlukan penilaian risiko menyeluruh, serta kerja sama yang baik dengan keluarga dan masyarakat anak-anak, serta rehabilitasi dan reintegrasi yang terencana dan berkelanjutan. Itulah ulasan tentang melepaskananak-anak Indonesiadari pengaruh ISIS. Semoga bermanfaat.