Ketua PWI Pekanbaru Diduga Melobi Media Terkait Kasus Pungutan Rp5 Juta di RS Bhayangkara

Utamapos.com  || Pekanbaru – Polemik dugaan pungutan Rp5 juta terhadap keluarga korban di RS Bhayangkara Pekanbaru terus menuai sorotan. Keluarga korban sebelumnya mengungkapkan, mereka diminta membayar Rp5 juta untuk proses otopsi. Ironisnya, hasil otopsi justru tidak pernah diserahkan kepada keluarga, melainkan hanya disimpan oleh pihak kepolisian tanpa alasan resmi (12/9/2025)

Dalam kwitansi resmi pembayaran, pihak rumah sakit hanya menuliskan keterangan biaya tersebut sebagai “pemulasaran jenazah dan formalin”, bukan otopsi. Hal inilah yang memicu kecurigaan adanya dugaan pungutan liar atau praktik tidak transparan dalam pengelolaan jenazah.

Fakta baru muncul lewat tangkapan layar komunikasi WhatsApp. Seorang bernama Andre, yang mengaku sebagai Ketua PWI Pekanbaru, tampak berkomunikasi dengan pimpinan salah satu media mitra TNI-Polri. Dalam percakapan itu, Andre meminta agar pemberitaan soal pungutan Rp5 juta diluruskan, dengan alasan bahwa informasi yang dimuat adalah keliru.

Andre juga menyebut bahwa pihak kepolisian, khususnya Kasubbit, terbuka untuk komunikasi, bahkan mengajak perwakilan media bertemu untuk klarifikasi lebih lanjut. Seraya meneruskan pesan seseorang yang diduga adalah kasubdit: “Intinya sesuai kwitasi itu bukan biaya autopsi, tapi biaya pemulasaran jenazah, yang salah satunya ada biaya peti dan formalin,” tulis Andre dalam pesan WhatsApp”.

Dalih ini kian dipertanyakan, karena di dalam rincian yang diklaim terdapat biaya peti jenazah. Faktanya, saat korban dibawa ke RS Bhayangkara, jenazah sudah menggunakan peti yang dibeli keluarga sendiri sebelum dilakukan otopsi. Artinya, alasan biaya peti dalam kwitansi tersebut patut diduga tidak benar alias palsu.

Langkah ini menimbulkan tanda tanya besar: mengapa Ketua PWI Pekanbaru justru terlihat mengambil peran sebagai mediator yang membela kepentingan polisi maupun RS Bhayangkara, alih-alih mendorong transparansi informasi untuk publik?

Padahal, pemberitaan sebelumnya yang menyinggung dugaan pungutan Rp5 juta itu berangkat dari materi primer, karena korban merupakan adik ipar dari rekanan jurnalis media mitra TNI-Polri. Media tersebut bahkan telah melakukan upaya konfirmasi langsung, baik kepada pihak kepolisian yang menetapkan besaran biaya otopsi dari 8 juta menjadi 5 juta melalui Kanit Reskrim Polsek Koto Kampar, Ipda Syafrianto SH, maupun dokter RS Bhayangkara yang melakukan otopsi atas nama Youga Balian Firdaus.

Dari surat keterangan kematian yang diterbitkan RS bhayangkara dengan nomor register RSBP: 0810825 dengan alamat pemeriksaan di instalasi kedokteran forensik dan perawatan jenazah dan dengan jenis pemeriksaan: AUTOPSI INTERNAL EXAMINATION

Dengan kata lain, tudingan “salah informasi” yang dilemparkan Andre justru kontradiktif dengan fakta bahwa media sudah melakukan konfirmasi kepada pihak-pihak berwenang sebelum pemberitaan naik.

Keluarga korban juga sudah mengirimkan surat resmi permohonan salinan hasil otopsi yang ditujukan kepada penyidik dan Kanit Reskrim Mapolsek Koto Kampar. Softfile dalam bentuk pdf surat itu juga sudah dikirimkan keluarga korban melalui pesan WhatsApp kepada penyidik dan Kanit Reskrim IPDA syafrianto SH, namun tidak ditindaklanjuti.

Keterlibatan figur dari organisasi profesi wartawan dalam lobi semacam ini berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan meruntuhkan independensi pers. Apalagi kasus ini menyangkut dugaan pungutan biaya tidak wajar kepada keluarga korban yang sedang berduka.

Dengan dasar hukum: UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menegaskan setiap pelayanan kesehatan harus transparan dalam biaya. Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2011 tentang Pelayanan Kedokteran Kepolisian mengatur bahwa hasil otopsi wajib disampaikan kepada keluarga yang berhak. UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menjamin independensi media dari intervensi pihak manapun, termasuk organisasi profesi wartawan.

Publik kini menanti transparansi dari pihak RS Bhayangkara dan kepolisian terkait dasar penetapan biaya Rp5 juta tersebut, sekaligus penjelasan dari Ketua PWI Pekanbaru mengenai kapasitas serta motif intervensinya dalam kasus ini.

Bersambung…

Komentar