Dr. Azmi Syahputra, S.H., M.H, Ahli Hukum Pidana: Presiden Segera Bentuk Tim Independen Percepatan Reformasi Kultural di Polri Tanggapi Maraknya Perilaku Pemerasan di Institusi Polri

Utamapos.com || Semarang – Perilaku pemerasan maupun tagar riuh ekspresi masyarakat berisi kritik yang sempat viral yang ditujukan pada kepolisian tentu jadi evaluasi sekaligus menambah catatan buruk bagi ditubuh institusi Polri.

Bukan saja menambah catatan buruk institusi Polri. Namun, juga menambah kerusakan wajah penegakan hukum.

Sehingga reformasi itu bukan hanya reformasi institusi, struktural, instrumen.

Menurut Azmi Syahputra, Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti, dibutuhkan reformasi di tubuh Polri saat ini bukan hanya reformasi institusi, struktural, instrumen. Namun, hal yang terpenting adalah reformasi kultural (budaya).

Azmi Syahputra, melanjutkan bahwa reformasi di tubuh Polri terutama reformasi sikap panutan keteladanan pimpinan sehingga anak buahnya punya role model, karakter kuat yang baik sehingga dapat empowering the team hingga lapisan bawah.

Perilaku pemerasan yang dilakukan oleh kepolisian sebagai aparat penegak hukum bukan lagi menjadi hal yang asing di masyarakat yang sedang berurusan dengan kepolisian. Namun, bisa dikatakan perilaku pemerasan di kepolisian sudah menjadi suatu kultur atau budaya yang dinormalkan.

Sebut saja baru-baru ini perilaku pemerasan yang terjadi terhadap penonton konser Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024 yang melibatkan puluhan anggota kepolisian bahkan petinggi kepolisian di Polda Metro Jaya Jakarta.

Belum lagi yang baru saja viral di Kota Semarang, dua orang anggota kepolisian melakukan pemerasan terhadap dua orang pelajar.

Seorang ibu rumah tangga yang saat ini ditahan di rutan, juga mengalami dugaan pemerasan melalui pengacara yang ditunjuk oleh kepolisian untuk mendampingi dalam perkaranya.

Seorang ibu yang sedang melakukan pengurusan surat keterangan terkait kecelakaan yang dialami oleh anaknya juga tidak luput dari budaya pemerasan kepolisian di wilayah Polda Jawa Tengah.

Pengaduan masyarakat terhadap perilaku pemerasan kepolisian bahkan terjadi di berbagai penjuru. Sebut saja pengaduan masyarakat yang Bidpropam Polda Bali Tahun 2024 yang juga masih mengenai perilaku pemerasan oleh kepolisian.

Bahkan seorang ibu yang melakukan pelaporan di Polres Magelang pada tahun 2017 juga mengalami permintaan uang untuk biaya transportasi menangkap pelaku penipuan. Bahkan pelapor hingga tahun 2024 ini pengaduannya di Bidpropam dan Itwasda Polda Jawa Tengah masih belum juga dituntaskan.

Perilaku pemerasan yang jika kita sebut dilakukan oleh oknum kepolisian sepertinya sangat tidak fair. Sebab jika disebut dilakukan oleh oknum polisi, maka sangat tidak fair ketika dilihat dari panjangnya daftar pengaduan ataupun kritik masyarakat terhadap perilaku pemerasan di kepolisian.

Azmi Syahputra, yang juga adalah Sekretaris Jenderal Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI) mendorong Presiden Prabowo Subianto segera membentuk tim independen percepatan reformasi kultural di tubuh Polri.

“Diawali di lingkungan Polri sebagai pintu masuk gerbang pertama potret pelayanan masyarakat dan penegakan hukum”, ujarnya Azmi Syahputra.

Azmi Syahputra melanjutkan, reformasi kultural di tubuh Polri dilakukan guna menuju menghadirkan para polisi yang profesional, humanis, dan penghormatan prinsip hak asasi.

“Ini bisa jadi salah satu kebijakan monumental konkrit bagi Presiden usai 100 hari pemerintahan guna menjawab problematika terutama pada lembaga penegakan hukum”, tegasnya Azmi Syahputra.

Beberapa advokat di LBH juga mengungkapkan perilaku pemerasan yang dilakukan oleh kepolisian dalam penanganan perkara.

Lebih lanjut, Azmi Syahputra menegaskan bahwa catatan perilaku krisis tindakan sewenang, minimnya tanggung jawab dan cenderung terjadi sistemik karena mental yang buruk dan ada fungsi kekuasaan yang disalahgunakan.

Pelaku diarahkan kewenangannya sebagai “sarana peluang transaksi” serta bertentangan dengan tujuan wewenang yang diberikan, Azmi Syahputra menambahkan.

“Ini kan jelas perbuatan larangan dan bertentangan dengan undang-undang serta dengan maksud untuk keuntungan dirinya atau kelompoknya”, ungkap Azmi Syahputra.

Kasus perilaku pemerasan yang juga menyeret nama beberapa anggota polisi di Polres Jakarta Selatan, seakan menambah daftar panjang perilaku pemerasan oleh kepolisian.

“Kalau anggota polisi dalam kinerjanya sudah melakukan pemerasan artinya meminta uang dengan pengancaman atau tekanan, ini kriminil, nyata perbuatan tersebut sengaja dilakukan dan tentu kontruksi peristiwanya sudah terang dan terbukti sebagai kejahatan”, tegasnya Azmi Syahputra.

Sehingga harus ada komitmen dari pimpinan untuk dikenakan sanksi tegas, tidak hanya sidang etik. Namun, fungsi penegakan hukum pidana juga harus ditegakkan dan diberhentikan pelaku dengan tidak hormat atas tindakannya tersebut, pungkas Azmi Syahputra menutup pernyataannya.

Deretan daftar panjang perilaku pemerasan di tubuh institusi Polri menunjukkan bahwa perilaku pemerasan ini bak fenomena gunung es, dimana beberapa yang viral saat ini masih merupakan hanya bagian puncaknya saja.

(Red)

Google search engine

Posting Terkait

Jangan Lewatkan

Komentar