Demokrasi mundur.
Oleh Dr.Aermadepa Akmal, SH, MH
Puncak helat Pilpres dan Pileg 2024 tinggal menunggu hitungan jam.
Semua kontestan sudah pada dagdigdug, menanti hasil perjuangannya yang sudah dimulai sejak mendaftarkan diri ikut serta sebagai peserta Pemilu.
Berbagai strategi sudah dimainkan, berbagai jurus sudah dikeluarkan, mulai dari yang “ halal ” sampai yang terlarang. Perbuatan larangan dalam helat Pemilu kali ini seakan sudah bukan hal tabu dan pantangan, malah justru seakan dipertontonkan dengan gegap gempita.
Tentu kita tidak bisa tutup mata, Pemilu 2024 disorot oleh banyak pihak sarat akan pelanggaran. Dari hulu sampai ke hilir. Mulai dari rekruitmen penyelenggara Pemilu yg kasat mata sudah melangkahi norma dan azas penyelenggara.
Untuk menjadi Penyelanggara Pemilu tidak cukup lagi hanya dengan modal kemampuan dan keahlian serta integritas diri semata. Menjadi penyelenggara harus punya dukungan yang dipertontonkan dengan terang berderang.
Bila dalam rekruitmen sebelumnya dukung mendukung ini cukup sebatas ormas saja, namun masih memungkinkan orang-orang tanpa dukungan pun lolos dan bisa berperan menjadi penyelenggara. Namun untuk kali ini tidak bisa, “ melangit ” pun kepandaian anda, tidak akan melenggang sampai ke gelanggang bila anda tidak punya kereta yang sayangnya saat ini sudah berbentuk peserta ( baca Partai Politik) dan uang sebagai pendukung nyata.
Hal ini berlanjut pada saat Penetapan Peserta Pemilu yang penuh drama, mulai penetapan Parpol sampai penetapan Paslon Presiden, demi bisa meloloskan salah satu pasangan calon sampai-sampai harus mempergunakan kekuasaan Mahkamah Konstitusi untuk menabrak sendiri konstitusi. Tak segan-segan para penguasa mempertunjukkan kearoganannya. Semua biasa diatur untuk mencapai tujuannya.
Tak ada halangan yang bisa menjadi aral untuk menggapai niat mereka. Melanggar aturan seakan hal biasa. Terus dimana posisi sang “ pengawal ” tegaknya aturan?? Mereka hanya antara ada dan tiada, tak bisa bergerak merdeka menjalankan tugas dan amanah yang diembannya, dan ini mungkin karena keberadaannya juga tidak terlepas dari peran dan bantuan pihak-pihak yang saat ini menjadi penguasa, yang tentu saja ada timbal baliknya, hingga sesungguhnya mereka sudah diamputasi sejak dilahirkan karena memang sudah cacat sejak embrio.
Berlanjut saat pelaksanaan kampanye, pelangaran bukan semakin berkurang namun justru kebalikannya. Kecurangan dipertontonkan dengan tiada takut dan sungkan. Malah mirisnya justru “dipercontohkan” oleh pihak-pihak yang seharusnya menjadi panutan anak bangsa. Kalau kita urai satu persatu semua kejanggalan dan pelanggaran tersebut, tak akan usai tulisan ini dalam sebuah opini singkat ini.
Bila esok setelah pemungutan suara, tahap penghitungan, rekapitulasi dan penetapan hasil Pemilu juga ditingkahi dengan “actor-aktor “ yang mempertontonkan keberpihakan dan ketidakadilan, maka genap sudah, Pemilu kali ini jauh dari amanat konstitusi, jauh panggang dari api, miris. Mungkin bisa dibilang Demokrasi Mundur.